Selamat Datang di Blog Sederhana ini. Semoga Bisa Bermanfaat. Amin...

Mematahkan Mitos "Mbarep"


Oleh: Abd. Basid

Bulan Oktober tahun ini bisa dikatakan bulan pernikahan. Mengapa? Karena semenjak pasca Ramadhan kemarin penulis banyak menjumpai orang yang melakukan sunnah nabi yang bernama nikah itu. Mulai dari ketika penulis menghabiskan hari libur lebaran di Madura sampai kembali lagi ke Kota Metropolitan, Surabaya sangat banyak terlaksana pesta pernikahan. Di gedung-gedung persewaan banyak dipenuhi penyewa pesta pernikahan.

Menurut Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, bahwa pernikahan merupakan salah satu dari tiga tonnggak kehidupan. Hal itu beliau tengarai dalam buku terbarunya yang berjudul “Berdamai dengan Kematian”, bahwa tonggak kehidupan ada tiga; peristiwa kelahiran, pernikahan, dan kematian. Dan pernikahan ini merupakan tonnggak utama dalam kehidupan seseorang. Dikatakan tonggak utama karena peristiwa pernikahan terjadi antara peristiwa kelahiran dan kematian. Dan juga, karena peristiwa ini menjadi poros yang menjaga kelangsungan generasi masyarakat agar manusia terus bertahan dan bahkan berkembang di muka bumi ini (Komaruddin Hidayat: 3).

Di samping itu, maraknya pernikahan tersebut mengingatkan penulis pada perkataan salah satu teman tentang pernikahan, bahwa kalau anak pertama (mbarep) menikah degan mbarep (mbarep vs mbarep) itu tidak bagus katanya. Mendengar perkataan tersebut, penulis langsung mengklaim bahwa hal yang demikian itu adalah mitos. Mitos yang tidak semuanya benar-benar terjadi dan perlu dipatahkan. Adakah mitos dalam agama?

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang diterbitkan oleh Balai Pustaka tahun 2002, bahwa pengertian dari mitos adalah cerita bangsa tentang dewa dan pahlawan zaman dahulu; mengandung penafsiran asal usul alam semesta; dan bangsa tersebut mengandung arti mendalam yang diungkapkan dengan cara ghaib. Dari definisi mitos di atas bisa penulis simpulkan bahwa dalam hal mitos tidak akan lepas dari tiga unsur; penafsiran cerita (terdahulu), alamiyah, dan kekuatan ghaib (dewa).

Dalan hal mitos mbarep ini, menurut hemat penulis termasuk pada katagori pengertian yang kedua dan ketiga, yaitu penafsiran asal usul cerita yang diungkapkan (mengandung) dengan cara ghaib.

Di kalangan kita banyak mitos yang masih mendarah dan mendaging pada masyarakatnya. Terutama bagi kalangan masyarakat kunonya. Seperti; seorang perawan tidak boleh berdiri di pintu karena bisa jadi ia tidak akan laku-laku, jagan membuka payung dalam rumah karena akan mendatangkan ular ke dalam rumah termaksud, dan masih banyak lagi yang tidak mungkin penulis sebutkan dalam tulisan pendek ini.

Penulis bukan tidak setuju kalau mitos itu bisa saja terjadi. Akan tetapi, penulis lebih menekankan bahwa mitos yang ada bisa kita patahkan dengan keyakinan. Mitos itu ada karena keyakinan dan bisa dipatahkan dengan keyakinan juga. Karena, mitos itu merupakan hasil olah keyakinan. Mitos bisa terjadi (pada kita) kalau kita meyakininya. Kalau kita membuka payung di dalam rumah, selagi kita mempercayai hal itu, maka rumah kita akan benar-benar dimasuki ular. Hal ini sangat sesuai dengan hadits yang berbunyi; “ana ‘inda dzonni ‘abdi bi” (Saya (Allah) akan seperti apa yang disangkakan hambaku). Maka di sinilah letak keurgenan kita untuk besifat husnudz dzan (perprasangka baik) terhadap yang ada.

Kalau penulis mereka-reka, sebenarnya adanya mitos seperti di atas itu merupakan sebuah cerita yang dimaksudkan baik oleh penugcap pertama kalinya, hanya saja caranya kurang tepat dan baik. Seperti mitos tidak boleh membuka payung dalam rumah, itu dimaksudkan supaya kita tidak membiasakan membuka payung dalam rumah karena kita bisa kelilipan dikarenakan ujung payugnya bisa kena mata kalau dibuka di tempat yang sempit. Begitu juga dengan mitos perawan. Perawan tidak boleh duduk/berdiri di pintu, itu juga dimaksudkan baik, kerena kalau ia duduk di pintu akan mengganggu jalan masuknya orang yang mau lewat.

Bagaimana dengan mitos mbarep? Dalam konteks mitos mbarep ini bisa jadi orang yang mengatakan pertama kalinya tidak mau menikah/menikahkan anaknya dengan mbarep sama mbarepnya.

Terakhir, sekedar pembuktian akan mitos mbarep yang sempat penulis dengar dari salah satu teman tersebut, bahwa penulis banyak bertanya pada kalangan dan bahkan pada orang-orang yang memang masyarakatnya masih kental dengan dunia mitosnya dan menghasilkan kesimpulan bahwa mitos mbarep tidak terbukti. Dari sekian banyak orang yang penulis tanyakan hanya segelintir orang yang mengatakan mitos mbarep itu memang ada. Dan fakta yang ada dan penulis temukan ternyata ada sepasang pasutri (pasangan suami istri) yang sama-sama mbarep keadaannya aman-aman saja. Baik dari segi ekonomi, kerukunan hidup, dan sejenisnya.

Akhir kata, tulisan pendek ini tidak hanya penulis maksudkan untuk menepis dan mematahkan mitos mbarep saja, melainkan mitos-mitos yang sejenis dan masih “getayangan” di kalagan masyarakat kita. Dan yang penting lagi bahwa mitos itu lahir dari olah keyakinan (firasat). Mitos ada karena keyakinan kita. Maka, olahlah firasat kita sebaik dan sebagus mugkin. Wallahu a’lam bis shawab...




5 Responses to "Mematahkan Mitos "Mbarep""

  1. Ha.ha.ha, Mmg g' smw mitos bnr adanya. Tp, g' sdkt jg dr mitos ktka dilogikakan masuk akal...

    BalasHapus
  2. Sebelumnya, salam kenal wahai Anonim...
    Saya aresiasi banget akan komentar Anda. Sulit lho mendapatkan komentar dari Anda... hehe

    Terus bagaimana Anda membaca mitos "mbarep" ini. Apa Anda percaya to gimana? Mitos "mbarep" ini logis g? :-)

    BalasHapus
  3. Nah yg lebih susah lg kalau dr pihak orang tua yang masih agak berpikiran kolot, ttg primbon lah atau apalah, sdangkan kita sndr ga percaya sm hal spt itu. Mau ngeyakinin ortu malah dibilang ngelawan. Susah ya jd anak pertama :|

    BalasHapus
  4. Niat ingin melamar, si dia menerima lamaran orang lain, karena orang tua nya tidak membolehkan anak pertama dengan pertama, bnyak cobaan kata nya, padahal cobaan itu dan jalan ke depan nya hanya Allah yang tau

    BalasHapus
    Balasan
    1. alhamdulillah, orang tua kami setuju dan lamaran ku di terima, walo kami anak pertama semua. kalo soal anak mbarep yang dikatakan egois, itu adlah sifat, yg didapat dari menjalani kehidupannya. bukan dari urutan lahirnya.

      Hapus

Tinggalkan komenrar Anda di sini!